Dalam shiroh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dijelaskan bahwa paman Nabi -Abu Tholib- biasa melindungi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dari gangguan kaumnya. Perlindungan yang diberikan ini tidak ada yang menandinginya. Oleh karenanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengharapkan hidayah itu datang pada pamannya. Saat menjeleng wafatnya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
menjenguk pamannya tersebut dan ingin menawarkan pamannya masuk Islam.
Beliau ingin agar pamannya bisa menutupi hidupnya dengan kalimat “laa
ilaha illallah” karena kalimat inilah yang akan membuka pintu
kebahagiaan di akhirat. Berikut kisah yang disebutkan dalam hadits.
Dari Ibnul Musayyib, dari ayahnya, ia berkata, “Ketika menjelang Abu
Tholib (paman Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam-) meninggal dunia,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menemuinya. Ketika itu
di sisi Abu Tholib terdapat ‘Abdullah bin Abu Umayyah dan Abu Jahl. Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan pada pamannya ketika itu,
أَىْ عَمِّ ، قُلْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ . كَلِمَةً أُحَاجُّ لَكَ بِهَا عِنْدَ اللَّهِ
“Wahai pamanku, katakanlah ‘laa ilaha illalah’ yaitu kalimat yang aku nanti bisa beralasan di hadapan Allah (kelak).”
Abu Jahl dan ‘Abdullah bin Umayyah berkata,
يَا أَبَا طَالِبٍ ، تَرْغَبُ عَنْ مِلَّةِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ
“Wahai Abu Tholib, apakah engkau tidak suka pada agamanya Abdul
Muthollib?” Mereka berdua terus mengucapkan seperti itu, namun kalimat
terakhir yang diucapkan Abu Tholib adalah ia berada di atas ajaran Abdul
Muttholib.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian mengatakan :
لأَسْتَغْفِرَنَّ لَكَ مَا لَمْ أُنْهَ عَنْهُ
“Sungguh aku akan memohonkan ampun bagimu wahai pamanku, selama aku tidak dilarang oleh Allah”
Kemudian turunlah ayat,
مَا كَانَ لِلنَّبِيِّ وَالَّذِينَ آَمَنُوا
أَنْ يَسْتَغْفِرُوا لِلْمُشْرِكِينَ وَلَوْ كَانُوا أُولِي قُرْبَى مِنْ
بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُمْ أَصْحَابُ الْجَحِيمِ
“Tidak pantas bagi seorang Nabi dan bagi orang-orang yang
beriman, mereka memintakan ampun bagi orang-orang yang musyrik, meskipun
mereka memiliki hubungan kekerabatan, setelah jelas bagi mereka, bahwa
orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka Jahanam” (QS. At Taubah: 113)
Allah Ta’ala pun menurunkan ayat,
إِنَّكَ لَا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ
“Sesungguhnya engkau (Muhammad) tidak bisa memberikan hidayah (ilham dan taufiq) kepada orang-orang yang engkau cintai” (QS. Al Qosshosh: 56) (HR. Bukhari no. 3884)
Beberapa pelajaran dari hadits di atas:
1- Boleh menjenguk orang sakit yang non-muslim asal dengan tujuan untuk mendakwahinya masuk Islam.
2- Bahaya memiliki teman yang jelek yang terus merayu pada kekafiran dan maksiat.
3- Makna kalimat “laa ilaha illallah” adalah meninggalkan peribadahan
pada berhala, wali dan orang sholeh. Orang-orang musyrik di masa Rasul
sudah mengetahui hal ini.
4- Seseorang yang mengucapkan kalimaat “laa ilaha illallah” dengan penuh keyakinan, maka ia dianggap masuk Islam.
5- Terlarang meminta ampunan pada Allah untuk orang musyrik dan
dilarang loyal pada mereka, juga dilarang mencintai mereka (atas dasar
agama).
6- Amalan itu dilihat dari akhirnya.
7- Rasul -shallallahu ‘alaihi wa sallam- tidak dapat memberi manfaat
pada pamannya sendiri, lebih-lebih pada orang lain. Ini menunjukkan
terlarangnya ketergantungan hati pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam meraih manfaat dan menolak mudhorot.
8- Hadits ini menunjukkan bahwa Abu Tholib mati dalam keadaan kafir.
9- Bahaya hanya mengekor (taklid) pada nenek moyang atau hanya
mengikuti tradisi mereka, dan hal itu dijadikan alasan ketika didebat,
“Ini kan tradisi nenek moyang kita.”
10- Hidayah agar seseorang bisa melakukan ketaatan adalah kuasa
Allah. Sedangkan kita sebagai manusia hanya bisa memberikan penjelasan
pada kebenaran.
Semoga pelajaran ini bermanfaat bagi pengunjung Muslim.Or.Id. Hanya Allah yang memberi taufik.
Referensi:
Al Mulakhosh fii Syarh Kitab Tauhid
0 comments :
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !